Webinar Nasional IPLBI Mengusung Risiko Bencana di Lanskap Budaya Bersejarah Kotagede, Yogyakarta dan Kota Lasem, Rembang

28 July, 2021

FT UNS-Dosen Program Studi (Prodi) Arsitektur Fakultas Teknik (FT) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta sekaligus Ketua Pusat Studi Jepang – LPPM UNS, Dr. Eng. Kusumaningdyah N.H. memaparkan risiko bencana di Lanskap Kota Bersejarah Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Hal tersebut dipaparkan dalam acara webinar nasional “Temu Narasi” yang diselenggarakan oleh Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia (IPLBI) pada Jumat (9/7/2021) secara daring. Bersama pembicara Punto Wijayanto, ST, MT dari Jurusan Arsitektur, Universitas Trisakti Jakarta. Kegiatan diikuti oleh sekitar 80 peserta baik melalui Zoom Meeting maupun kanal Youtube IPLBI.

Baik Dr. Eng Kusumaningdyah dan Punto Wijayanto, ST, MT merupakan penggiat dari Kelompok Kerja (Pokja) Lanskap Budaya IPLBI. Pokja ini diresmikan sejak kepengurusan IPLBI Periode 2020-2022. Pokja ini diharapkan bisa menjadi wadah pengembangan keilmuan Lanskap Budaya sekaligus sebagai penguat jejaring antar peneliti Lanskap Budaya di Indonesia. Secara rutin Pokja Lanskap Budaya menyelenggarakan diskusi secara daring serta virtual tour.

Punto Wijayanto, ST, MT dalam materinya, menyebutkan bahwa pengelolaam risiko bencana Pusaka Saujana dijelaskan dalam Piagam Pelestarian Pusaka Saujana Indonesia 2019 pada poin 3 ayat 5. “Pengelolaan risiko bencana pusaka saujana, perkembangan tata ruang dan kehidupan masyarakat jika tidak direncanakan dengan baik akan mengancam kemenerusan pusaka saujana, oleh karena itu dibutuhkan aturan yang tegas agar dapat menanggulangi dan menghadapi saat terjadinya bencana alam dan bencana sosial. Kegiatan tersebut harus terintegrasi antara kegiatan kesiapsiagaan, tanggap darurat, dan pemulihan pelestarian pusaka saujana,” jelasnya.

Punto Wijayanto ST, MT juga menjelaskan merujuk pada pendekatan Lanskap Kota Bersejarah (HUL), pengelolaan pusaka saujana hendaknya memperhatikan aspek keterancaman bencana. Belajar dari pengelolaan bencana di Kotagede, Yogyakarta pasca gempa tahun 2006, pusaka dimanapun pasti rentan terhadap bencana dan karena itu, aspek pengurangan risiko bencana harus terintegrasi dengan pengelolaan pusaka saujana. Hal-hal yang bisa dilakukan seperti mengidentifikasi risiko dan dampak bencana serta menyiapkan kelompok masyarakat yang tanggap pusaka pada saat bencana terjadi.

Sementara Dr. Eng Kusumaningdyah menjelaskan Kota Pusaka Lasem. Lasem merupakan salah satu Kecamatan di Rembang. Pada abad ke-19, Lasem dikenal dengan sebagai Corong Candung. Kemudian menjadi Kota Batik, Kota Santri, Kota Garam, dan Kota Maritim. Kota Lasem juga pernah menjadi area yang kaya akan kayu jati terbaik di masa Hindia-Belanda pada abad ke-17. “Kota ini punya significance value yang dikenal dengan Kota Batik, Kota Pecinan dan Kota Santri. Keberagaman budaya terdapat di Lasem,” imbuh Dr. Eng. Kusumaningdyah. Ia menjelaskan bahwa batik yang berkembang di Lasem juga memiliki unit produksi yang berkaitan dengan kota-kota lainnya yang dikenal dengan Batik Tiga Negeri yaitu Pekalongan, Lasem, dan Surakarta. “Batik Tiga Negeri berasal dari warna yang dipengaruhi struktur alam atau air yang digunakan untuk mencuci dan membilas sehingga menjadi struktur utama dalam mengunci warna. Pekalongan warna biru, Solo warna coklat (sogan), lalu warna merah dari Lasem. Keunikannya berada di warna merahnya yang berasal dari khuusnya sumber air di Lasem, sehingga produksi Batik Tiga Negeri yang berada di beberapa tempat menjadi industri utama pada masa itu,” jelasnya.
“Dengan adanya berbagai macam kesenian tradisi dan ritual festival, maka lengkaplah definisi cultural landscape di Lasem. Kota Lasem memiliki sekitar 240 bangunan berlanggam bangunan Cina-Jawa dan Cina-Indis yang tersebar di Dusun Gedongmulyo, Soditan, Gambiran, Karangturi, Sumbergirang, dan Babagan. Tahun ini, Kemdikbud bersama Yayasan Lasem Heritage mengadakan proses pendataan untuk merekomendasikan penetapan objek cagar budaya di tingkat Nasional,” ungkapnya.

Dr. Eng. Kusumaningdyah menyebutkan bahwa bencana alam yang kerap dialami di Lasem adalah banjir karena kurang baiknya drainase seperti yang terjadi pada tahun 2017. “Kemudian, masalah sampah dan sedimentasi dari sungai yang tidak bisa diselesaikan hanya di satu kawasan, tetapi harus nge-link dengan kawasan penghela lainnya karena daerah hulunya terdapat di beberapa wilayah,” sebutnya.

Risiko lain yang terjadi yaitu saat kemunduran Lasem pada 1945-1965 ketika produksi batik menurun, para generasi muda pergi ke luar kota untuk mengenyam pendidikan dan mencari pekerjaan lain sehingga tidak melanjutkan unit usaha batiknya. Hal ini berakibat menurunnya industri batik. Selain itu, kerentanan juga melanda Kota Lasem dengan banyaknya bangunan pusaka yang diperjualbelikan. Dalam presentasinya dalam pengelolaan kebencanaan maka bencana harus di antisipasi dan dikelola dengan baik.

Dalam rekomendasi presentasi, Dr Eng Kusumaningdyah merekomendasikan tiga hal utama yang perlu dilakukan dalam melakukan pengelolaan bencana di Kota Pusaka, pertama, membutuhkan keterlibatan masyarakat dalam mengindetifikasi resiko bencana penilian dampak dan penyusunan strategi mitigasi; kedua, melindungi integritas dan keaslian atribut “Significances of Value” serta ketiga, perlu adanya sistem regulasi yang komperhensif yang mencerminkan kondisi lokal, dan dapat mencakup langkah-langkah legislatif dan peraturan yang ditujukan untuk konservasi dan pengelolaan atribut pusaka baik benda dan tak benda.

Humas FT/Aji. Editor/ KNH